Dulu, ketika pertama kali aku mengenal Islam, tidak ada yang mau dengan begitu sabar menasehatiku. Sifatku yang sering bertanya dan menyangkal kadang membuat orang-orang jengkel. Mereka menganggapku bodoh, tidak mau bersungguh-sungguh, bahkan munafik. Mereka pikir aku hanya ingin dipuji orang dengan prosesku itu.
Lalu aku mengenalnya. Sosok sederhana yang sabar sekali. Tidak pernah dia memarahiku walaupun aku tidak jua bisa memahami Islam secara benar. Pertanyaan demi pertanyaan terus aku sodorkan kepadanya. Tak hanya pertanyaan yang penuh rasa keingintahuan, melainkan juga beberapa pertanyaan yang kesannya meremehkan dan menghujat. “Islam itu kan maksa? Islam itu kan kejam?” begitu yang aku pikirkan dulu.
Dia tersenyum seraya berucap lembut, “Jika engkau berpikir Islam itu kejam, itu sah-sah saja. Tapi Allah tetap sayang padamu walau apapun yang engkau katakan tentang-NYA. Ingatlah semua nikmat Allah ketika engkau hendak berpaling dari-NYA. Adakah sesuatu yang kau tidak puas?”
Ya, hanya itu yang dia katakan. Dan aku tidak merenungkannya dalam-dalam. Aku hanya menjalani apa yang menurutku baik. Meskipun aku seringkali mendengar orang berucap tentang ayat Al Qur’an:
“…boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu padahal itu baik bagimu. Dan boleh jadi kamu menyenangi sesuatu padahal itu tidak baik bagimu.” (QS Al Baqarah: 216)
Di hatiku, apapun yang aku yakini adalah benar. Dan apapun yang aku yakini benar adalah yang terbaik bagiku.
Tapi proses itu tidak terlalu panjang. Dia memberikan pelayanan terbaik bagiku. Dia selalu tersenyum penuh semangat tiap kali bertemu denganku. Dia perlihatkan ketegaran walupun aku sendiri tahu batapa rapuh dirinya. Dia perlihatkan cinta yang mendalam, yang itu terpancar dari matanya. Tak ada paksaan, tiba-tiba saja aku ingin meneladaninya. Aku ingin meniru ketegarannya. Aku ingin meniru semangatnya.
Sedikit demi sedikit tapi pasti, aku mulai membuka diri. Aku merasakan benar apa yang disebutkan dalam Al Qur’an:
“Maka disebabkan rahmat ALLAH-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka akan menjauh dari sekelilingmu.” (QS Ali Imran: 159)
ALLAH telah menurunkan cahaya hidayah-NYA kepadaku lewat sikap lemah lembut seorang sahabat, yang sekarang menjadi murobbi-ku. Karena kelembutan hatinya, karena ketegarannya, karena cintanya yang mendalam kepadaku. Demi ALLAH, baru kali ini aku merasakan indahnya persaudaraan yang berlandaskan Islam. Tidak ada saling mencela, tidak pula ada pamrih di dalamnya. Aku merasa dihargai, pun tidak pernah merasa dipaksa.
Beberapa minggu berlalu. Semakin aku mengenalnya, semakin aku menaruh simpatik dan cinta kepadanya karena ALLAH. Selama itu, belum pernah dia membuatku sakit hati. Belum pernah dia memarahiku, walau aku sadar sungguh banyak kesalahanku padanya.
Sekarang aku mulai mengerti. Keindahan Islam tidak hanya terpancar lewat pemandangan alam, danau, angin, perhiasan, dan lainnya itu. Keindahan Islam justru aku temukan lewat pandangan mata yang penuh dengan cahaya ILLAHI. Segala keindahan dan kelembutan itu terpancar melalui senyum keikhlasannya.
“Ya ALLAH, teguhkanlah hati kami bersama orang-orang yang penuh keteguhan. Kuatkanlah iman kami bersama orang-orang yang penuh keimanan dan kecintaan kepada-MU. Jagalah kesucian ukhuwah ini di jalan-MU. Kami dipertemukan karena-MU. Kami pun hanya akan dipisahkan karena-MU.”
“Ya ALLAH, pada-MU kupasrahkan segala. Lindungilah dia ya Rabb. Dia murobbiku. Dia penuntunku ke jalan-MU. Muliakanlah dia bersama para kekasih-MU di surga. Amin.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar